Rabu, 12 Juni 2013

tentang saya

0 komentar



Nama                    :  Yani Suryani
NIM                      :  3504110050
PRODI                  :  ADMINISTRASI NEGARA
TINGKAT             :  2
No HP                   : 081224986307

Read More

Mencari Pemimpin, Bukan Penguasa

0 komentar

Satu dekade terakhir, bangsa Indonesia sejatinya tengah berada dalam sebuah dunia “entah kenapa” karena terjadinya serangkaian persoalan yang datang tiba-tiba. Persoalan yang seharusnya sudah dapat diantisipasi sebagai dampak bawaan, malah sering membuat kita seperti bangsa yang baru belajar. Ini terjadi hampir di semua sendi kehidupan. Kita kerapkali dibuat tergagap-gagap oleh ketidakmampuan kita mengantisipasi berbagai kemungkinan yang seharusnya bisa siap diminimalisasi dampak negatifnya.
Begitu era reformasi datang setelah sekian tahun hanya berani tumbuh dalam angan-angan, kita justru menyikapinya dengan main-main, tanpa konsep, perencanaan dan perhitungan matang untuk mengukur segala dampaknya. Kita terjangkit penyakit euphoria berlebihan, sehingga lupa ke mana harus melangkah. Bahkan, gerakan reformasi yang sejatinya diharap menjadi gerbang masa depan, malah akhirnya menjelma gelontoran bola salju yang setiap saat siap menerkam kita. Kita tak tahu harus berbuat apa, dan kita tak menyadari ini semua akan berakibat sangat buruk bagi kelangsungan kehidupan.
Demikian pula yang terjadi di ranah politik. Ketika lima tahun silam memilih kepala daerah secara langsung hanya angan-angan, kita kapan saja kita bisa menentukan pilihan untuk mengangkat seorang pemimpin. Hatta, untuk memenuhi hasrat berkuasa, kini sebuah daerah harus dimekarkan hanya demi jabatan prestisius, bupati kepala daerah.
Sebuah propinsi bahkan bernasib sama. Hanya untuk mengantarkan seseorang menjadi gubernur, peduli amat memenuhi syarat atau tidak, kawasan tersebut harus terpecah-belah. Kabupaten Tarutung di Sumatera Utara, harus rela membelah dirinya hanya untuk kelahiran Kabupaten Dairi.
Ibarat “hukum karma”, Tarutung tak hanya harus bersiap menjadi ayah kandung bagi anaknya, Dairi, tapi juga harus berbesar hati ketika harus dilakukan operasi caesar atas kelahiran cucunya, Phakphak Barat sebagai kabupaten baru pecahan kabupaten Dairi.
Yang paling mutakhir, dan ini menyebabkan semua stakeholder sadar untuk melakukan moratorium, adalah keinginan kelompok tertentu di Sumatera Utara untuk memecah propinsi tetangga Nanggroe Aceh Darussalam. Ketua DPR setempat, Abdul Aziz Angkat, menjadi martir, tewas saat menghadapi gelombang massa yang histeris, menebar tindakan horor untuk terpenuhinya hasrat pemekaran.
Maka, hasrat untuk berkuasa, akan terus menggelora dan tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus bertunas dan berdaun, bercabang serta bertumbuhan, sehingga akan teramat sulit bagi siapapun untuk menghentikan keinginan paling purba yang ada pada diri anak manusia ini.
Kalau demikian, adakah di antara kita yang tidak memiliki hasrat berkuasa? Pada setiap anak manusia, hingga dalam diri manusia paling “suci” sekalipun, bahkan juga bagi kalangan moralis dan rohaniawan, hasrat ini telah ada. Bukankah telah nyata mata, ada para petinggi sebuah organisasi penggiat keagamaan harus berlomba, berkompetisi dan bersaing untuk jabatan tertentu?
Untuk ini semua, dibutuhkan modal yang tentu saja tidak sedikit, tidak kecil. Dan sungguh tak terkirakan akibat negatifnya jika keinginan untuk berkuasa dan segera terpenuhi.
Hasrat Berkuasa
Keinginan untuk berkuasa, sejatinya adalah persoalan masa lalu yang terus berkembang hingga ke masa depan. Maka, segala modal dipertaruhkan untuk membuat kursi kekuasaan bertekuk lutut di hadapan kita, dan menjadi layaknya sebuah mainan dalam genggaman tangan kita. Adakah semua ini sepi dari pendekatan politik.
Hampir semua kegiatan yang dilakukan untuk mencapai sesuatu membutuhkan politik tertentu, dengan pendekatan yang berbeda. Ibarat sebuah game, kita harus memiliki kiat-kiat tertentu, taktik yang jitu, dan strategi mumpuni agar sebuah target bisa dicapai.
Demikian pula dengan yang dilakukan “calon-calon” pemimpin kita yang bertarung teramat ketat, bahkan dengan rekan separtai, untuk tujuan menjadi anggota parlemen. Saling membunuh pun dilakukan, asal tujuan dapat tercapai. Konsekuensinya jelas. Ada yang sukses menjadi pemenang, dan karenanya harus ada yang menjadi pecundang.
Sekarang mari berhitung! Dari sisi materi, sudah barang pasti tidak akan sedikit dana yang harus dipersiapkan untuk memenuhi hasrat menjadi anggota dewan yang terhormat. Kalau Komisi Pemilihan Umum (KPU) benar dengan datanya, maka tercatat tak kurang dari 11.868 politisi dan calon politisi yang bersaing untuk menjadi manusia-manusia terhormat pada pemilu legislatif 2009 ini.
Jika jumlah ini dikalikan dengan, minimal, Rp 1 miliar sebagai dana perjuangan, maka dalam beberapa saat, dana sebesar itu habis dibuang hanya untuk sebuah persiapan. Dana yang untuk menuliskannya harus menggunakan medium deret angka ini, sungguh akan teramat panjang, dan jika harus diverbalisasi akan berkisar triliyunan itu, dengan gampangnya digelontorkan hanya untuk sebuah prosesi start menuju pertarungan, yang sejatinya akan lebih mengerikan lagi.
Pantaslah kalau begitu kursi diduduki, maka sejak hari pertama yang terbayang adalah bagaimana mengisi kantong yang terlanjur terkuras, menambah angka pada deposito yang sudah berkurang, dan tentu saja berjuang keras untuk memperoleh “untung” yang lebih besar lagi.
Apakah dengan demikian, akan usai sudah keiginan untuk berkuasa? Lima tahun ke depan, adakah yang berbesar hati melepas kursi yang telah menjelma menjadi mesin pemenuh hasrat berkuasa, ATM bagi semua keinginan, alat paling sophisticated untuk mencapai segala yang muncul dalam gelora syahwat dunia itu?
Bagi kita yang selama ini hidup di bawah atau tengah garis kemiskinan, mari bayangkan gaji para anggota dewan yang terdiri atas gaji rutin perbulan, rutin non perbulan dan tentatif.
Pendapatan rutin perbulan meliputi gaji pokok Rp 15.510.000, tunjangan listrik Rp 5.496.000, tunjangan aspirasi Rp 7.200.000, tunjangan kehormatan Rp 3.150.000, tunjangan komunikasi Rp 12.000.000, tunjangan pengawasan Rp 2.100.000. Total perbulan Rp 46.100.000 dan pertahun menjadi Rp 554.000.000. Tanpa kecuali, semua anggota DPR mendapatkan gaji yang sama.
Sedang penerimaan non bulanan atau non rutin dimulai dari penerimaan gaji ke-13 setiap bulan Juni Rp 16.400.000 dan dana penyerapan/reses Rp 31.500.000. Dalam satu tahun sidang ada empat kali reses, dan jika ditotal selama pertahun akan diterima sekitar Rp 118.000.000.
Sementara penghasilan yang bersifat sewaktu-waktu, antara lain dana intensif pembahasan rencangan undang-undang dan honor penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebesar Rp 5.000.000 perkegiatan. Dana kebijakan intensif legislatif sebesar Rp 1.000.000 per-RUU. Jika dihitung jumlah keseluruhan yang diterima anggota DPR dalam setahun mencapai hampir 1 milyar rupiah.
Data tahun 2006, jumlah pertahun dana yang diterima anggota DPR mencapai Rp 761.000.000, dan tahun 2007 mencapai Rp 787.100.000.
Masih adakah pos pendapatan lainnya? Tentu masih. Semisal tunjangan untuk jabatan di semua alat kelengkapan DPR. Pimpinan DPR, Ketua Komisi, Ketua Fraksi, Ketua Panitia Kerja (Panja), Ketua Panitia Khusus (Pansus), Panitia Anggaran (Panggar), Pimpinan Badan Musyawarah (Bamus), Pimpinan Badan Legislasi (Baleg), serta pos-pos pendapatan lainnya. Duh!
Tentu saja, ini semua untuk mereka yang sukses melenggang menuju kursi-kursi yang tak lama lagi bakal ditinggalkan oleh penghuninya itu. Lalu bagaimana halnya dengan mereka yang sudah berjuang sekian tahun, konsolidasi sekian bulan, sosialisasi menjelang pemilu, tapi terpental dari perebutan kekuasaan ini? Adakah di antara mereka yang telah bersiap-siap untuk sebuah kekalahan?
Menerima Kekalahan
Tradisi dan sejarah kehidupan perpolitik yang dimiliki anak bangsa ini, sejujurnya tak pernah mengenal dengan benar istilah menerima kekalahan. Jangankan untuk sebuah kekalahan dalam merebut kekuasaan, “mengalah” untuk sesuatu yang lebih bermakna bagi kelangsungan sebuah kehidupan pun, seringkali kita tidak siap.
Kalau perlu, sebuah kehidupan tak apalah harus berhenti, asal jangan ada istilah kalah dalam kamus perjalanan hidup kita. Karena itu, kalah dalam dunia politik mengandung makna dan tafsir sungguh beragam dengan implikasi tak bisa kita prediksikan. Karena itu, seringkali kita membuat tafsir yang rancu untuk memaknai akibat sebuah pertarungan politik.
Sejatinya, kekalahan dalam konteks perebutan kekuasaan memiliki implikasi yang sungguh tak terjangkau kata-kata. Seseorang yang mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan, maka ia sejatinya telah terpental dari tempatnya berpijak. Ia telah kehilangan segala-galanya, karena ia telah juga mempertaruhkan segala-galanya.
Kalau seseorang bersaing memperebutkan kekusaan dengan modal dana, tenaga, atau dukungan suara yang besar, strategi yang benar, taktik yang tepat dan kiat yang terukur, lalu karena satu dan lain hal ia kalah, maka sejatinya ia telah kehilangan semua modalnya. Yang paling mengerikan adalah kalau ia kehilangan modal pengaruh dan kepercayaan dari para pendukungnya. Kiamat kecillah yang bakal dia terima.
Untuk sebuah pertarungan politik, deretan modal tadi sesungguhnya kuranglah memadai. Perjuangan politik tentu haruslah dilakukan dengan pendekatan politik pula. Nakal-nakallah sedikit! Kalau tidak, maka sebaiknya Anda berjuang untuk menunggu kotak amal saja!
Karena tabiatnya yang “nakal-nakal sedikit” itulah, maka pertarungan di dunia politik kadang sarat perjudian, penuh premanisme, dan kadangkala melahirkan political assasination. Berharap fairness, janganlah bermimpi.
Fairness, kata sebagian orang, hanya bisa ditemukan di dunia olahraga. Hanya di beberapa cabang, karena beberapa cabang olahraga tertentu justru membutuhkan politik tertentu pula untuk meraih poin. Begitu petinju kawakan Oscar De La Hoya dikandaskan oleh Manny Pacquiao dari Filipina, maka pemilik julukan The Golden Boy itu disebut “loosing”; kehilangan. Ia kehilangan gelarnya dan ia kehilangan momentumnya.
Seharusnya demikian pula halnya dengan mereka yang bertarung dalam memperebutkan kekuasaan tetapi kandas, maka sejatinya ia telah kehilangan. Kehilangan sangat banyak, yang sepatutnya sudah diperhitungkan jauh-jauh hari. Ia kehilangan harta, dukungan, kepercayaan, kesempatan, tenaga, momentum dan banyak bentuk kehilangan lainnya.
Untuk mereka yang tidak siap, tentu perlu kita tunjukkan bahwa kehilangan kesadaran jauh lebih mengerikan. Sehingga untuk itu, tak perlulah menyesali nasib karena menjadi seorang pecundang. Pecundang kalau masih memiliki mental fairness, maka ia masih memiliki modal tersisa untuk tetap menjadi seorang manusia.
Candu Politik
Sayangnya, dunia politik tak selalu mengenal adagium tersebut. Politik adalah soal kekuasaan. Dan kekuasaan adalah soal candu. Barangsiapa yang sudah merasa politik adalah jalan hidupnya, maka jatuh bangun pun akan ia lakukan, asal masih bisa kembali ke habitatnya; dunia politi yang kejam.
Buktinya amatlah banyak. Bahkan dalam satu dekade terakhir dalam kehidupan politik kita. Begitu terjungkal, Abdurrahman Wahid berjuang dan meggandeng Marwah Daud Ibrahim, meski akhirnya harus menerima kenyataan pahit.
Sebagai incumbent, seharusnya pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi bisa dengan mudah mempertahankan kekuasaan, tetapi kenyataan berkata lain. Dua orang mantan anak buahnya di kabinet yang ia pimpinan, pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, memaksa Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu, terpental. Bahkan, bekas atasan SBY di lingkungan TNI, mantan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto pun harus berbesar hati menerima kenyataan dan sanksi politik, kalah hanya pada putaran pertama. Sungguh menyesakkah.
Kapokkah mereka semua? Tidak ada yang kapok. Tidak ada yang merasa jengah karena kalah dan kehilangan pada mementum sebelumnya. Tahun ini, pada pemilu 2009, mereka kembali sakau, karena candu politik.
Tetapi di sinilah anomali muncul. Mereka yang seharusnya sudah keok, kalah telak dan kehilangan banyak, kini justru merasa terlahir kembali karena dorongan ingin berkuasa yang begitu kuat. Dana yang mereka kucurkan seperti tak mengenal kata henti. Uang yang mereka kantongi seperti tak mengenai nomor seri. Begitu besar uang digelontorkan untuk sebuah hasrat kekuasaan.
Kalau pada pertarungan pemilu untuk mengisi kursi perlemen saja menghabiskan uang triliunan rupiah, bagaimana pula dengan uang yang harus dibuang untuk memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2? Alamak!
Sebuah tafsir yang absurd untuk memahami kalah-menang dalam konteks perebutan kekuasaan. Wallâhu a’lam bish-shawâb.
Read More

Artikel Sosial Politik

0 komentar

FILM DAN FUNGSI SOSIAL



Sebagai seorang penikmat film nasional, rasanya bangga melihat perkembangan perfilman nasional belakangan. Kreasi sineas nasional tak hanya membanggakan di dalam negeri tetapi pengakuan juga diberikan dunia internasional melalui penghargaan yang diberikan bagi sineas nasional. Kondisi macam ini sangat jadi adalah indikasi kebangkitan perfilman nasional. Meski harus diakui apresiasi publik terhadap karya perfilman nasional belum cukup optimal untuk membangun sebuah iklim perfilman yang baik.

Dalam konsepsi umum film merupakan media hiburan bagi penikmatnya, tapi dalam kenyataannnya film juga memiliki fungsi sosial, seperti yang diungkapkan Karl Manheim bahwa siaran televisi, film, dan media lain yang melibatkan khalayak dapat menimbulkan apa yang dirumuskan Manhein sebagai publik abstrak, meski publik abstrak tidak terorganisir, tapi reaksi terhadap stimulus yang sama yang diberikan melalui media diatas, akan bersesuaian dengan konsep integrasi sosial (Soejono Soekanto : 1985). Dari sana ternyata kita bisa melihat film tidak sekedar sebagai sebuah karya seni yang lantas bersama-sama kita nikmati, lebih dari itu film juga dapat dilihat sebagai sebuah bangunan sosial dari masyarakat yang ada dimana film itu diciptakan. Maka, kita kemudian dapat menarik sebuah benang merah bahwa film juga memiliki fungsi sosial.

Berbicara mengenai fungsi sosial film, kita tentu tak dapat melepaskan diri dari realita sosio-kultural yang mengitari film tersebut. Dalam konteks Indonesia kekinian, sebuah masalah besar yang dihadapi bangsa adalah, mulai hancurnya integrasi sosial, seperti diungkapkan Imam Prasodjo, bahwa kerekatan sosial (social bond) bangsa ini tengah berada pada titik terendah (2000).

Dari sketsa perfilman nasional dua-tiga tahun terakhir fungsi film sebagai media membangun integrasi sosial telah nampak, dapat kita lihat dalam film karya Garin Nugroho (Aku Ingin Menciummu Sekali Saja) atau film nasional terbaru (Biola dak berdawai). Dalam film-film tersebut nampak jelas bahwa film mencoba membangun kesadaran kolektif bangsa ini untuk mau dan sanggup mengakui pluralitas.

Maka, secara tidak langsung sudah tercapai kesepakatan bahwa film memang memiliki fungsi sosial yang cukup besar. Apalagi konon, film merupakan karya estetika yang memiliki bahasa universal, dimana audience tersebar melintasi lorong-lorong ideologis, agama, suku dan ras. Peluang film menjadi sarana membangun integrasi sosial menjadi sangat terbuka, apalagi ketika publik saat ini tengah meragukan institusi resmi bentukan negara.

Kemudian pertanyaan yang muncul apakah fungsi sosial film ini akan membebani para sineas Indonesia dalam melahirkan ide. Rasanya kebebasan ekspresi atau juga dimensi estetik dalam film tidak harus dipertentangkan dengan dimensi sosial film, karena keduanya merupakan hal yang inheren. Karena saya yakin, para pekerja film di negeri ini, apalagi para darah muda yang punya energi idealis memiliki sense of belonging terhadap bangsa ini, dan ketika bangsa membutuhkan sentuhan mereka guna membangun kembali integrasi sosial, tentu saja mereka akan menjadikan itu sebagai salah satu bagian penting dalam aktivitas mereka berkarya.
Selamat Tinggal Film Kacau

Selama rentang waktu dua dasawarsa tertidurnya perfilman nasional, film-film yang muncul film dengan kualitas yang rendah, tema yang diusung tak jauh dari ranjang dansetan. Bisa jadi publik menyambut film semacam itu dengan tangan terbuka, tapi saya melihat sambutan publik lebih disebabkan karena memang tidak ada pilihan tontonan, film yang muncul film seperti itu maka mau tak mau film itu yang dikonsumsi, kita mencatat ketika muncul Daun di Atas bantal publik menyambut dengan sangat antusias. Mengapa kami mengambil Daun di atas bantal, karena film inilah yang menjadi salah satu pendobrak lesunya perfilman nasional ketika itu.

Masa kejayaan film kacau sudah harus ditinggalkan, apalagi film-film tersebut ditinjau secara sosiologis hanya akan memberi stimulus negatif bagi publik. Lihat saja banyaknya kasus perkosaan yang ditimbulkan oleh film-film berbau ranjang tadi. Dengan munculnya film nasional dengan kualitas yang memadai secara berlahan akan menggeser paradigma penikmat film yang semula menjadikan film sekedar memiliki fungsi rekreatif menjadi paradigma yang menjadikan film memiliki fungsi ganda, fungsi sosial dan fungsi rekreatif.

Ada juga sebuah fenomena menarik dalam perfilman nasional saat ini, masih hadirnya film nasional yang berbau setan seperti Jelangkung atau yang akan menyusul Tusuk Jelangkung, tapi yang kini hadir adalah usaha merasionalkan keyakinan tradisonal seputar dunia klenik tersebut. Aspek tonjolan dalam film-film berbau setan tersebut lebih pada usaha elaborasi spiritual yang rasional ketimbang sekedar penekanan pada aspek keseraman dan ketegangan film. Kondisi-kondisi di atas menguatkan keyakinan bahwa masa kejayaan film-film kacau akan segera berlalu.

Film-film nasional saat ini juga memperlihatkan ada usaha menjadikan publik penikmat sebagai subjek bukan sekedar objek film, dimana proses dialektis antara penikmat film dan pekerja film diusahakan untuk berlangsung. Baik pada saat film akan diproduksi maupun pasca produksi, proses macam ini harus terus dilakukan jangan sampai kesalahan yang menimpa Pearl Harlbour yang notabene adalah film sejarah malah mengesampingkan fakta sejarah juga terjadi pada film nasional.
Merumuskan Fungsi Sosial Film

Bila kita mau merujukkan dunia film nasional dengan kondisi sosio-kultural masyarakat kita, maka ada beberapa tawaran fungsi sosial yang bisa diperankan film sebagai media stimulus.

Pertama, film sebagai media pelurusan sejarah, seperti kita ketahui sejarah bangsa ini menjadi sangat tidak jelas akibat banyaknya sejarah yang diciptakan penguasa dan salah satu media pereduksian sejarah dilakukan melalui film, meskipun tugas meluruskan sejarah bukan menjadi tanggung jawab sineas saat ini, tapi paling tidak ada beban untuk mencoba melakukan eksplorasi historis bangsa ini, mengingat film adalah media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan.

Kedua, film harus ikut serta membangun integrasi sosial bangsa ini yang disebut-sebut tengah berada di tepi jurang, meski mungkin isu-isu seputar integrasi sosial isu yang tidak terlalu menarik untuk dijadikan bahan film, tapi tanggung jawab membangun kembali integritas sosial adalah tanggung jawab kita bersama, salah satunya adalah dunia perfilman nasional. Film harus mampu menjadi jembatan dalam dialog pluralitas di negeri ini, ada baiknya film mampu menjelaskan pluralitas di negeri ini dalam bahasa yang mudah dipahami hingga esensi integrasi sosial dapat terbangun melalui kesadaran yang dimediasikan oleh film.

Ketiga, film harus ikut dalam proses demokratisasi di negeri ini, peran sebagaicampaign media untuk kelangsungan proses demokrasi dapat diperankan oleh dunia film nasional, film diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai demokrasi ke audience.

Fungsi-fungsi tambahan bagi film nasional di atas tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas para sineas dalam berkarya, fungsi-fungsi tersebut merupakan fungsi yang muncul secara natural, sebagai bentuk persinggungan antara dunia film nasional dengan realitas sosio-kultural-politik bangsa ini. Jadi, sangat tidak beralasan jika fungsi sosial film dianggap menjadi beban bagi pekerja film di Indonesia.

Akhirnya proses dialog antara film sebagai bangunan tersendiri dimana aspek estetik menjadi pusat dengan kondisi sosio-kultural-politik lingkungan yang mengitarinya, maka waktulah yang akan menjawab segala harapan-harapan pada perfilman nasional dalam memainkan fungsi-fungsi sosialnya.

Semoga perfilman nasional mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bisa dibanggakan sebagai produk original anak negeri.





























COUNTDOWN TO PEACE :
Masa Depan Perdamaian AS-Irak



Satu minggu sudah pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat bergerak membombardir Irak. Di sisi lain pasukan militer dan rakyat Irak berjuang mati-matian mempertahankan tiap jengkal tanah mereka. Tak ada tanda-tanda pertempuran akan berakhir, di sana sini demo anti perang terus berlangsung, akhir pekan bukan saat untuk liburan tapi saat berunjuk rasa. Banyak yang pesimis bahwa perang ini akan segera berakhir, para aktivis perdamaian dunia mensinyalir bahwa korban mayoritas dari perang teluk jilid II ini adalah masyarakat sipil yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan, meski angka resmi mengenai korban perang ini belum jelas terungkap, tapi paling tidak indikasi ke arah itu cukup besar. Dapat kita lihat dari siaran beberapa stasiun televisi baik internasional maupun nasional yang menunjukkan banyaknya korban sipil.

Biaya kemanusiaan yang lahir dari perang ini memang luar biasa, selain ancaman kematian, kelaparan, penyakit menular, ada satu bahaya besar yang kini mengancam dunia, tumbuhnya semangat untuk saling membenci. Pendapat yang dikemukakan Samuel Huntington dalam Class of Civilization seolah mendapat pembenaran dari perang yang berkecamuk ini. Dunia kembali akan berada dalam blok-blok seperti masa perang dingin, hanya saja blok-blok tersebut terbentuk bukan lagi karena faktor ideologis melainkan lebih pada faktor peradaban yang dianut. Barat di satu sisi dan Islam di sisi lain menurut Huntington akan menjadi dua poros kekuatan dunia nantinya. Biarlah thesis Huntington itu akan mengalami pembuktian melalui perjalanan sejarah, yang jauh lebih penting saat ini adalah membangun sebuah kondisi yang bisa mempercepat berakhirnya perang.

Tragedi kemanusiaan ini harus segera berakhir, jika tidak akan sangat fatal akibatnya bagi kemanusian, untuk melakukan analisa seperti apa mengakhiri perang ini, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa realitas awalan. Realitas awalan ini nanti akan digunakan membangun asumsi prospek perdamaian.

Pertama, ada hal menarik yang disampaikan Bush ketika mengetahui prajurut AS yang ditawan tentara Irak disiarkan televisi Irak. Bush langsung menuding Irak melanggar Konvensi Jenewa tahun 1950 (Kompas, 25 Maret 2003), tetapi apakah Bush ingat bahwa iapun telah melanggar kesepakatn bersama dalam sidang PBB, yang menginginkan agar perang dihindarkan. Tetapi Bush memilih jalan unilaterar. Di lain sisi, Saddam Husein meneriakkan pada rakyat dan tentaranya bahwa mereka akan segera memenangkan perang (kompas, 25 Maret 2003). Tragedi kemanusiaan ini memberi sinyal pada dunia bahwa lembaga perdamaiaan internasional (PBB) kehilangan fungsi atau dengan kata lain PBB bukan lagi badan dunia yang sakral, PBB telah sekarat. Ini kondisi pertama.

Kedua, AS ternyata pihak yang tak bisa diajak kompromi dalam menyelesaikan pelucutan senjata berbahaya Irak, apa yang dilakukan PBB dengan inspeksi lapangan terhadap kemungkinan adanya senjata pemusnah massal di Irak ternyata diabaikan AS, terlepas dari apakah AS memiliki kepentingan khusus dalam misinya kali ini, kita bisa melihat AS tak mengindahkan seruan dunia melalui PBB, sampai sesaat sebelum perang dimulai AS secara penuh hanya didukung tiga negara, Spanyol, Australia dan Inggris. Tiga negara tersebut memang yang resmi, bila kita hitung kembali maka masih ada Israel, Kuwait, Turki, Jepang dan beberapa negara lain yang mendukung baik secara langsung maupun diam-diam. Namun disisi lain AS berseberangan dengan puluhan bahkan ratusan negara lain terutama negara-negara yang tergabung dalam liga arab dan gerakan non blok. Maka dapat kita katakan perasaan mentang-mentang (dumeh) AS begitu kuat, selama ini kementang-mentangannya tertutupi dengan predikat sebagai negara pengawal hak azasi manusia (HAM), tapi agresi mereka ke Irak tanpa sebab jelas menguatkan analisa bahwa AS memang negara yang sewenang-wenang. Ini adalah realitas awalan kedua.

Ketiga, ada usaha dari pihak-pihak tertentu baik dalam skala global maupun lokal (di tingkatan negara-negara) yang mengarahkan opini publik bahwa pertikaian ini merupakan pertikaian antar agama (peradaban), memang sebuah kebenaran bahwa Irak adalah negara bependuduk muslim dan secara kebetulan pula Irak dalam konstruksi sejarah Islam memiliki signifikasi yang kuat, hingga ketika Irak mendapat serangan tanpa sebab dari AS, secara psikologis umat muslim di dunia merasakan penderitaan. Ini terbukti dari banyaknya aksi solidaritas kelompok muslim di banyak negara. Tapi, tak ada alasan kuat untuk menyatakan perang Irak sebagai pertikaian antar agama (peradaban). Ini adalah realitas awalan ketiga.

Keempat, ada kondisi yang sebenarnya merupakan realitas tapi sering dianggap sekedar rumor, kondisi tersebut tak lain bahwa perang ini terjadi lebih disebabkan faktor ketidaksenangan George W. Bush terhadap Saddam Husein. Bila kita mau mencermati banyak indikator yang mengindikasikan hal ini, antara lain ultimatum Bush kepada Saddam untuk meninggalkan Irak bersama anaknya dan ultimatum ini dijawab tegas oleh Saddam bahwa ia tak akan meninggalkan Irak, yang pada akhirnya kondisi ini menjadi picu terakhir perang, kemudian adanya isu yang menyebutkan AS telah mempersiapkan peralihan kekuasaan dari tangan Saddam, dua hal tersebut sudah cukup mengindikasikan bahwa Bush dan AS umumnya tidak menyukai Saddam memimpin Irak. Ini realitas awalan yang keempat.

Hitung Mundur Menuju Damai

Dari tiga realitas awal tersebut kita bisa melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan dunia untuk mencegah perang, yang selanjutnya bisa dijadikan pijakan dalam menentukan strategi menuju perdamaian.

Refleksi pertama, beranjak dari realitas awalan pertama, dimana lembaga resmi dunia tidak lagi memiliki urgensi dalam mencegah konflik terbuka, hal ini bisa jadi disebabkan terlalu lunaknya PBB dalam mengontrol kondisi potensial konflik dengan aktor utama negara, kelunakan ini semakin terasa ketika PBB menghadapi aktor berupa negara-negara besar, terutama negara pemegang hak veto. Sebab kedua bisa jadi disebabkan terlalu besarnya ketergantungan PBB terhadap negara-negara besar dunia, terutama menyangkut finansial dan sebab ketiga sangat mungkin konsolidasi kekuatan pro-perdamaian di dalam PBB tidak berlangsung baik.

Dari kondisi kausalitas di atas, maka wajar saja bila PBB kehilangan urgensi fungsi dalam menjaga perdamaian dunia. Untuk itu dalam perspektif jangka pendek yang harus dilakukan PBB adalah memberikan sanksi keras terhadap negara agresor, paling tidak sama kerasnya dengan sanksi yang pernah dikeluarkan PBB kepada Irak, ketika Irak menginfasi Kuwait. Pemberian sanksi ini dimaksudkan untuk mengangkat citra PBB di mata negara anggota yang terlanjur kecewa terhadap PBB. Selanjutnya, PBB harus berusaha mendorongkan proses penyelesaian masalah mengenai senjata pemusnah massal Irak kembali ke jalur semula dimana kordinasi penuh berada di tangan dewan keamanan PBB.

Kemudian dalam perspektif jangka panjang, dengan mempertimbangkan sejarah perjalanan PBB dan fungsi-fungsi DK PBB yang mengalami bias antara fungsi menjaga perdamaian dunia dan melindungi kepentingan negara besar, terutama AS dan Inggris. Maka, perlu dilakukan telaah ulang mengenai hak veto yang selama ini dimiliki lima negara (AS, China, Rusia, Inggris dan Perancis), dan menganalisa kemungkinan ditambahnya anggota tidak tetap DK PBB. Kedua usulan di atas terkait sepenuhnya dengan perasaan kesamaan (equality) dalam DK PBB.

Refleksi kedua, beranjak dari kondisi bahwa AS dan Irak sulit dikompromikan menyangkut kecurigaan dunia internasional mengenai adanya senjata pemusnah massal di Irak, maka ada dua benang merah yang bisa ditarik. Pertama, Irak harus dengan jujur dan penuh kesungguhan memberikan kesempatan pada dunia internasional untuk membuktikan bahwa tuduhan yang dituduhkan kepada mereka tidaklah benar, bila ternyata Irak tidak mengindahkan instruksi ini maka barulah Irak halal di serang, bila nantinya di Irak ditemukan senjata pemusnah massal, Irak harus rela memusnahkan senjata tersebut. Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui Amerika Serikatlah yang memotori isu senjata pemusnah massal itu, maka ASpun harus ditekan untuk membiarkan proses inspeksi dilakukan secara sistematis dan objektif, jika hal ini tidak diindahkan PBB harus dengan tegas memberi sanksi pada AS.

Kemudian yang jadi masalah, hal-hal diatas baru bisa dilaksanakan bila PBBpowerfull tidak powerless seperti saat ini, maka yang harus dilakukan adalah mengkonsolidasikan semua kekuatan pro-perdamaian di seluruh dunia, untuk mem back up usaha-usaha sistematis PBB. Sebuah keniscayaan, bahwa kolektivitas bangsa-bangsa di dunia akan menghasilkan sebuah hal yang berarti bagi perdamaian dunia.

Refleksi ketiga, beranjak dari kondisi bahwa ada pihak-pihak yang mengarahkan isu perang ini menjadi isu konfli antar agama (peradaban), maka harus dilakukan usaha sistematis oleh semua negara di dunia untuk menjelaskan kepada rakyat di negara masing-masing bahwa perang Irak bukanlah perang antar agama, langkah-langkah pelurusan opini publik menjadi sangat penting, guna menghalau kemungkinan meluasnya konflik.

Refleksi keempat, bila konlik Irak ini sebagian besar disebabkan oleh faktor individu (big-man theory) maka perlu dilakukan penyelesaian dengan pendekatan individual pula. Bush dan Saddam sebagai aktor utama adalah subjek masalah, dunia internasional perlu dapat menggunakan mediator bagi Bush dan Saddam untuk saling merundingkan hal-hal yang menyebabkan Bush (AS umumnya) tidak menyukai Saddam. Memang tidak mudah, tapi sekali lagi usaha-usaha tersebut tetap berada dalam tekanan PBB melalui sanksi-sanksi yang tegas.

Masa depan perdamaiaan dari krisis Irak ini sangat ditentukan salah satunya oleh bagaimana DK PBB merevitalisasi fungsi dan peran, juga bagaimana konsolidasi kekuatan pro-perdamaian di dunia memperkuat kolektivitas guna menekan pihak-pihak yang kini berkonflik.

Realita memang tak selalu sejalan dengan harapan, tapi tanpa harapan tentu tak ada perbaikan, karenanya di tengah kekalutan dunia yang luar biasa, energi harapan harus terus ditebar, krisis Irak adalah salah satu ujian atas komitmen bersama negara-negara dunia bagi kemanusiaan. Kini mari kita menghitung mundur menuju perdamaian.



Read More