Rabu, 12 Juni 2013

Mencari Pemimpin, Bukan Penguasa


Satu dekade terakhir, bangsa Indonesia sejatinya tengah berada dalam sebuah dunia “entah kenapa” karena terjadinya serangkaian persoalan yang datang tiba-tiba. Persoalan yang seharusnya sudah dapat diantisipasi sebagai dampak bawaan, malah sering membuat kita seperti bangsa yang baru belajar. Ini terjadi hampir di semua sendi kehidupan. Kita kerapkali dibuat tergagap-gagap oleh ketidakmampuan kita mengantisipasi berbagai kemungkinan yang seharusnya bisa siap diminimalisasi dampak negatifnya.
Begitu era reformasi datang setelah sekian tahun hanya berani tumbuh dalam angan-angan, kita justru menyikapinya dengan main-main, tanpa konsep, perencanaan dan perhitungan matang untuk mengukur segala dampaknya. Kita terjangkit penyakit euphoria berlebihan, sehingga lupa ke mana harus melangkah. Bahkan, gerakan reformasi yang sejatinya diharap menjadi gerbang masa depan, malah akhirnya menjelma gelontoran bola salju yang setiap saat siap menerkam kita. Kita tak tahu harus berbuat apa, dan kita tak menyadari ini semua akan berakibat sangat buruk bagi kelangsungan kehidupan.
Demikian pula yang terjadi di ranah politik. Ketika lima tahun silam memilih kepala daerah secara langsung hanya angan-angan, kita kapan saja kita bisa menentukan pilihan untuk mengangkat seorang pemimpin. Hatta, untuk memenuhi hasrat berkuasa, kini sebuah daerah harus dimekarkan hanya demi jabatan prestisius, bupati kepala daerah.
Sebuah propinsi bahkan bernasib sama. Hanya untuk mengantarkan seseorang menjadi gubernur, peduli amat memenuhi syarat atau tidak, kawasan tersebut harus terpecah-belah. Kabupaten Tarutung di Sumatera Utara, harus rela membelah dirinya hanya untuk kelahiran Kabupaten Dairi.
Ibarat “hukum karma”, Tarutung tak hanya harus bersiap menjadi ayah kandung bagi anaknya, Dairi, tapi juga harus berbesar hati ketika harus dilakukan operasi caesar atas kelahiran cucunya, Phakphak Barat sebagai kabupaten baru pecahan kabupaten Dairi.
Yang paling mutakhir, dan ini menyebabkan semua stakeholder sadar untuk melakukan moratorium, adalah keinginan kelompok tertentu di Sumatera Utara untuk memecah propinsi tetangga Nanggroe Aceh Darussalam. Ketua DPR setempat, Abdul Aziz Angkat, menjadi martir, tewas saat menghadapi gelombang massa yang histeris, menebar tindakan horor untuk terpenuhinya hasrat pemekaran.
Maka, hasrat untuk berkuasa, akan terus menggelora dan tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus bertunas dan berdaun, bercabang serta bertumbuhan, sehingga akan teramat sulit bagi siapapun untuk menghentikan keinginan paling purba yang ada pada diri anak manusia ini.
Kalau demikian, adakah di antara kita yang tidak memiliki hasrat berkuasa? Pada setiap anak manusia, hingga dalam diri manusia paling “suci” sekalipun, bahkan juga bagi kalangan moralis dan rohaniawan, hasrat ini telah ada. Bukankah telah nyata mata, ada para petinggi sebuah organisasi penggiat keagamaan harus berlomba, berkompetisi dan bersaing untuk jabatan tertentu?
Untuk ini semua, dibutuhkan modal yang tentu saja tidak sedikit, tidak kecil. Dan sungguh tak terkirakan akibat negatifnya jika keinginan untuk berkuasa dan segera terpenuhi.
Hasrat Berkuasa
Keinginan untuk berkuasa, sejatinya adalah persoalan masa lalu yang terus berkembang hingga ke masa depan. Maka, segala modal dipertaruhkan untuk membuat kursi kekuasaan bertekuk lutut di hadapan kita, dan menjadi layaknya sebuah mainan dalam genggaman tangan kita. Adakah semua ini sepi dari pendekatan politik.
Hampir semua kegiatan yang dilakukan untuk mencapai sesuatu membutuhkan politik tertentu, dengan pendekatan yang berbeda. Ibarat sebuah game, kita harus memiliki kiat-kiat tertentu, taktik yang jitu, dan strategi mumpuni agar sebuah target bisa dicapai.
Demikian pula dengan yang dilakukan “calon-calon” pemimpin kita yang bertarung teramat ketat, bahkan dengan rekan separtai, untuk tujuan menjadi anggota parlemen. Saling membunuh pun dilakukan, asal tujuan dapat tercapai. Konsekuensinya jelas. Ada yang sukses menjadi pemenang, dan karenanya harus ada yang menjadi pecundang.
Sekarang mari berhitung! Dari sisi materi, sudah barang pasti tidak akan sedikit dana yang harus dipersiapkan untuk memenuhi hasrat menjadi anggota dewan yang terhormat. Kalau Komisi Pemilihan Umum (KPU) benar dengan datanya, maka tercatat tak kurang dari 11.868 politisi dan calon politisi yang bersaing untuk menjadi manusia-manusia terhormat pada pemilu legislatif 2009 ini.
Jika jumlah ini dikalikan dengan, minimal, Rp 1 miliar sebagai dana perjuangan, maka dalam beberapa saat, dana sebesar itu habis dibuang hanya untuk sebuah persiapan. Dana yang untuk menuliskannya harus menggunakan medium deret angka ini, sungguh akan teramat panjang, dan jika harus diverbalisasi akan berkisar triliyunan itu, dengan gampangnya digelontorkan hanya untuk sebuah prosesi start menuju pertarungan, yang sejatinya akan lebih mengerikan lagi.
Pantaslah kalau begitu kursi diduduki, maka sejak hari pertama yang terbayang adalah bagaimana mengisi kantong yang terlanjur terkuras, menambah angka pada deposito yang sudah berkurang, dan tentu saja berjuang keras untuk memperoleh “untung” yang lebih besar lagi.
Apakah dengan demikian, akan usai sudah keiginan untuk berkuasa? Lima tahun ke depan, adakah yang berbesar hati melepas kursi yang telah menjelma menjadi mesin pemenuh hasrat berkuasa, ATM bagi semua keinginan, alat paling sophisticated untuk mencapai segala yang muncul dalam gelora syahwat dunia itu?
Bagi kita yang selama ini hidup di bawah atau tengah garis kemiskinan, mari bayangkan gaji para anggota dewan yang terdiri atas gaji rutin perbulan, rutin non perbulan dan tentatif.
Pendapatan rutin perbulan meliputi gaji pokok Rp 15.510.000, tunjangan listrik Rp 5.496.000, tunjangan aspirasi Rp 7.200.000, tunjangan kehormatan Rp 3.150.000, tunjangan komunikasi Rp 12.000.000, tunjangan pengawasan Rp 2.100.000. Total perbulan Rp 46.100.000 dan pertahun menjadi Rp 554.000.000. Tanpa kecuali, semua anggota DPR mendapatkan gaji yang sama.
Sedang penerimaan non bulanan atau non rutin dimulai dari penerimaan gaji ke-13 setiap bulan Juni Rp 16.400.000 dan dana penyerapan/reses Rp 31.500.000. Dalam satu tahun sidang ada empat kali reses, dan jika ditotal selama pertahun akan diterima sekitar Rp 118.000.000.
Sementara penghasilan yang bersifat sewaktu-waktu, antara lain dana intensif pembahasan rencangan undang-undang dan honor penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebesar Rp 5.000.000 perkegiatan. Dana kebijakan intensif legislatif sebesar Rp 1.000.000 per-RUU. Jika dihitung jumlah keseluruhan yang diterima anggota DPR dalam setahun mencapai hampir 1 milyar rupiah.
Data tahun 2006, jumlah pertahun dana yang diterima anggota DPR mencapai Rp 761.000.000, dan tahun 2007 mencapai Rp 787.100.000.
Masih adakah pos pendapatan lainnya? Tentu masih. Semisal tunjangan untuk jabatan di semua alat kelengkapan DPR. Pimpinan DPR, Ketua Komisi, Ketua Fraksi, Ketua Panitia Kerja (Panja), Ketua Panitia Khusus (Pansus), Panitia Anggaran (Panggar), Pimpinan Badan Musyawarah (Bamus), Pimpinan Badan Legislasi (Baleg), serta pos-pos pendapatan lainnya. Duh!
Tentu saja, ini semua untuk mereka yang sukses melenggang menuju kursi-kursi yang tak lama lagi bakal ditinggalkan oleh penghuninya itu. Lalu bagaimana halnya dengan mereka yang sudah berjuang sekian tahun, konsolidasi sekian bulan, sosialisasi menjelang pemilu, tapi terpental dari perebutan kekuasaan ini? Adakah di antara mereka yang telah bersiap-siap untuk sebuah kekalahan?
Menerima Kekalahan
Tradisi dan sejarah kehidupan perpolitik yang dimiliki anak bangsa ini, sejujurnya tak pernah mengenal dengan benar istilah menerima kekalahan. Jangankan untuk sebuah kekalahan dalam merebut kekuasaan, “mengalah” untuk sesuatu yang lebih bermakna bagi kelangsungan sebuah kehidupan pun, seringkali kita tidak siap.
Kalau perlu, sebuah kehidupan tak apalah harus berhenti, asal jangan ada istilah kalah dalam kamus perjalanan hidup kita. Karena itu, kalah dalam dunia politik mengandung makna dan tafsir sungguh beragam dengan implikasi tak bisa kita prediksikan. Karena itu, seringkali kita membuat tafsir yang rancu untuk memaknai akibat sebuah pertarungan politik.
Sejatinya, kekalahan dalam konteks perebutan kekuasaan memiliki implikasi yang sungguh tak terjangkau kata-kata. Seseorang yang mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan, maka ia sejatinya telah terpental dari tempatnya berpijak. Ia telah kehilangan segala-galanya, karena ia telah juga mempertaruhkan segala-galanya.
Kalau seseorang bersaing memperebutkan kekusaan dengan modal dana, tenaga, atau dukungan suara yang besar, strategi yang benar, taktik yang tepat dan kiat yang terukur, lalu karena satu dan lain hal ia kalah, maka sejatinya ia telah kehilangan semua modalnya. Yang paling mengerikan adalah kalau ia kehilangan modal pengaruh dan kepercayaan dari para pendukungnya. Kiamat kecillah yang bakal dia terima.
Untuk sebuah pertarungan politik, deretan modal tadi sesungguhnya kuranglah memadai. Perjuangan politik tentu haruslah dilakukan dengan pendekatan politik pula. Nakal-nakallah sedikit! Kalau tidak, maka sebaiknya Anda berjuang untuk menunggu kotak amal saja!
Karena tabiatnya yang “nakal-nakal sedikit” itulah, maka pertarungan di dunia politik kadang sarat perjudian, penuh premanisme, dan kadangkala melahirkan political assasination. Berharap fairness, janganlah bermimpi.
Fairness, kata sebagian orang, hanya bisa ditemukan di dunia olahraga. Hanya di beberapa cabang, karena beberapa cabang olahraga tertentu justru membutuhkan politik tertentu pula untuk meraih poin. Begitu petinju kawakan Oscar De La Hoya dikandaskan oleh Manny Pacquiao dari Filipina, maka pemilik julukan The Golden Boy itu disebut “loosing”; kehilangan. Ia kehilangan gelarnya dan ia kehilangan momentumnya.
Seharusnya demikian pula halnya dengan mereka yang bertarung dalam memperebutkan kekuasaan tetapi kandas, maka sejatinya ia telah kehilangan. Kehilangan sangat banyak, yang sepatutnya sudah diperhitungkan jauh-jauh hari. Ia kehilangan harta, dukungan, kepercayaan, kesempatan, tenaga, momentum dan banyak bentuk kehilangan lainnya.
Untuk mereka yang tidak siap, tentu perlu kita tunjukkan bahwa kehilangan kesadaran jauh lebih mengerikan. Sehingga untuk itu, tak perlulah menyesali nasib karena menjadi seorang pecundang. Pecundang kalau masih memiliki mental fairness, maka ia masih memiliki modal tersisa untuk tetap menjadi seorang manusia.
Candu Politik
Sayangnya, dunia politik tak selalu mengenal adagium tersebut. Politik adalah soal kekuasaan. Dan kekuasaan adalah soal candu. Barangsiapa yang sudah merasa politik adalah jalan hidupnya, maka jatuh bangun pun akan ia lakukan, asal masih bisa kembali ke habitatnya; dunia politi yang kejam.
Buktinya amatlah banyak. Bahkan dalam satu dekade terakhir dalam kehidupan politik kita. Begitu terjungkal, Abdurrahman Wahid berjuang dan meggandeng Marwah Daud Ibrahim, meski akhirnya harus menerima kenyataan pahit.
Sebagai incumbent, seharusnya pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi bisa dengan mudah mempertahankan kekuasaan, tetapi kenyataan berkata lain. Dua orang mantan anak buahnya di kabinet yang ia pimpinan, pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, memaksa Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu, terpental. Bahkan, bekas atasan SBY di lingkungan TNI, mantan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto pun harus berbesar hati menerima kenyataan dan sanksi politik, kalah hanya pada putaran pertama. Sungguh menyesakkah.
Kapokkah mereka semua? Tidak ada yang kapok. Tidak ada yang merasa jengah karena kalah dan kehilangan pada mementum sebelumnya. Tahun ini, pada pemilu 2009, mereka kembali sakau, karena candu politik.
Tetapi di sinilah anomali muncul. Mereka yang seharusnya sudah keok, kalah telak dan kehilangan banyak, kini justru merasa terlahir kembali karena dorongan ingin berkuasa yang begitu kuat. Dana yang mereka kucurkan seperti tak mengenal kata henti. Uang yang mereka kantongi seperti tak mengenai nomor seri. Begitu besar uang digelontorkan untuk sebuah hasrat kekuasaan.
Kalau pada pertarungan pemilu untuk mengisi kursi perlemen saja menghabiskan uang triliunan rupiah, bagaimana pula dengan uang yang harus dibuang untuk memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2? Alamak!
Sebuah tafsir yang absurd untuk memahami kalah-menang dalam konteks perebutan kekuasaan. Wallâhu a’lam bish-shawâb.

0 komentar:

Posting Komentar